TUGAS MAKALAH
ANALISIS STILISTIKA DALAM CERPEN “KAMBOJA DI ATAS NISAN” KARYA HERMAN R N

Disusun Untuk Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Stilistika
Dosen Pengambu Okta Rina Puspita W, M.Pd.
disusun oleh
Siti Amirin Durotul Inaroh
(34101300126)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2015
ANALISIS STILISTIKA DALAM CERPEN “KAMBOJA DI ATAS NISAN” KARYA HERMAN R N
Oleh Siti Amirin D
I (34101300126)
RINGKASAN
Peristiwa atau pengalaman yang dialami seseoarang seringkali diungkapkan
dengan menggunakan cerpen untuk menyampaikan perasaan dan menjelaskan suatu
peristiwa yang dialami atau yang dilihatnya. Sebagai wacana sastra prosa,
konteks penyampaian makna dari sebuah cerpen selalu disampaikan dengan gaya
bahasa. Berbagai gaya bahasa digunkan guna menampilkan keindahan dalam sebuah
cerpen. Karena setiap kata-kata yang tertuang di dalam cerpen terkadang telah
mampu menunjukkan makna yang disampaikan.
Pendekatan yang tepat untuk digunakan dalam menganalisis cerpen karya
Herman R N ini yaitu pendekatan stilistika, yang membahas tmengenai gaya bahasa
dalam sebuah karya sastra prosa yang dalam hal ini fokus pembahasannya adalah pada
hasil analisis cerpen “Kamboja di Atas Nisan” karya Herman R N dengan
pendekatan stilistika.
Kata kunci: Pendekatan stilistika, Cerpen, Kamboja di Atas Nisan,
Herman R N
DAFTAR
ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah
karya sastra memiliki banyak aspek untuk dikaji melalui berbagai pendekatan.
Misalnya pada sebuah cerpen, kita dapat mengkajinya dari sisi manapun sesuai
dengan pendekatan yang digunakan. Beragam pula pendekatan yang dapat dipakai
untuk menganalisis suatu karya sastra. Salah satunya adalah pendekatan
stilistika.
Stilistika (stylistic)
adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan
style itu sendiri berasal dari akar
kata stilus (latin), semula berarti
alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis
lilin. Dalam bidang bahasa dan sastra style
dan stylistic berarti cara
penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu (Nyoman Kutha
Ratna 2009: 8-9). Dengan kata lain stilistika adalaah ilmu yang mempelajari
tentang gaya bahasa yang terdapat pada sebuah karya sastra salah satunya adalah
cerpen.
Cerpen adalah cerita rekaan atau fiksi. cerpen merupakan
sebuah karya sastra berbentuk prosa naratif (karangan bebas) yang berisi cerita
khayal/fiksi dan disajikan secara ringkas. Unsur
cerita seperti tema, tokoh, penokohan
atau karakter, alur, latar, sudut pandang dan amanat tetap ada dan merupakan
satu kesatuan yang utuh.
Cerpen selalu berhubungan dengan kehidupan masyarakat karena pada dasarnya
cerpen berasal dari kehidupan sekitar kita, berasal dari kisah yang berkembang disekeliling kita akan tetapi
kemudian diolah dan dikembangkan dengan imajinasi penulis sehingga cerpen
bersifat fiksi.
Cerpen yang akan diteliti dalam makalah ini adalah cerpen
Kamboja di Atas Nisan karya Herman R
N dalam Kompas, 05 Januari 2014, dengan pendekatan stilistika. Dalam
cerpen Kamboja di Atas Nisan diceritakan seseorang
bernama Kamboja yang
ingin mempertahankan pemakanman di mana ibunya
dimakamkan. Hal yang menarik dari cerpen ini adalah penggunaan bahasanya dalam
menggambarkan setiap peristiwa atau tempat tertentu, dengan menggunakan gaya
bahasa yang indah. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam makalah ini penulis
akan menganalisis cerpen tersebut dengan pendekatan stilistika.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah bagaimana analisis stilistika atau gaya bahasa
apa saja yang terdapat dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan karya Herman
R N dalam Kompas, 05 Januari 2014 tersebut?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan maslah tersebut
maka tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana analisis
stilistika atau gaya bahasa apa saja yang terdapat dalam cerpen Kamboja di Atas Nisan karya Herman R N
dalam Kompas, 05 Januari 2014 tersebut.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Sinopsis Cerpen Kamboja di Atas Nisan
Tubuhnya
gemetar. Perlahan tangan perempuan itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk batu
tanah gundukan di hadapannya. Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah.
Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air yang nyaris
melabrak kelopak matanya.
Kamboja adalah anak semata wayang yang harus terlahir di sebuah pengungsian
karena diusik oleh pemberontak. Ayahnya meninggal akibat peluru nyasar yang
berasal dari kelompok pemberontak dan tidak tau di mana pemakamannya.
Kini Kamboja hidup sebatang kara di sebuah kota karena
dia harus melanjutkan sekolahnya ke universitas sebagai pesan dari sang ibu.
Setiap kali liburan semester Kamboja selalu mengunjungi tempat peristiharatan
terakhir sang ibu yang berada di kampung. Suatu hari Kamboja sedang berada di
makam ibu tercintanya yang ada di kampung. Ibunya dimakamkan di tempat
pemakaman umum korban konflik. Di pemakaman tersebut Kamboja menangis meratapi
nasib dirinya dan sang ibu. Kamboja merasa bingung karena tidak tahu harus
berbuat apa untuk menyelamtakan tempat peristirahatan ibunya itu dari tangan
pemberontak dan orang-orang yang gila akan harta.
Gundukan-gundukan tanah itu rencananya akan dibangun
sebuah hotel berbintang yang bertaraf internasional. Seharian Kamboja berada di
atas gundukan tanah di mana ibunya beristirahat ibi sembari memeluk nisan dan
meremas-remas tanah gundukan tersebut. kamboja berusaha menahan air matanya itu
sembarimengajukan beberapa pertanyaan kepada sang ibu, namun jawaban itu tak
kunjung dia dapatkan. Kamboja akhirnya tidak
dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bening yang telah lama mengambang
itu pecah juga dari balik kelopak matanya yang berbulu lentik. Satu per satu
bening itu jatuh menimpa pinggiran nisan ibu Kamboja. Kamboja menjatuhkan
kepalanya di
batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu itu. Ia
bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan. Hampir tak terdengar di antara angin
siang yang sedikit kencang.
”Ibu,
jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada Tuhan,
biarkan aku yang menggantikan kau di sini,” lirihnya.
Lama
Kamboja diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya masih bergetar,
kendati matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi keringat. Namun, sedikit
pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris melupakan letak kerudungnya
yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa tersimpan rapi di balik kerudung
itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut hitam keriting itu. Ia tetap bertanya kepada sang ibu bagaimana lagi
caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu, penderitaan kaum
perempuan. Kamboja
berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina
mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit. Seraya bertanya kepada tuhan dan meminta pertolongan.
Kamboja sesenggukan. Ia bersimpuh di hadapan nisan ibunya. Lehernya menekuk.
Kepalanya nyaris menyentuh lutut. Tubuhnya masih terus bergetar. Isaknya pun
mulai deras.
Kamboja
bangkit, menuju bagian kaki ibunya. Ia duduk perlahan. Kedua telapak tangannya
menyentuh batu nisan itu. Lalu, kepalanya ia tundukkan agar dapat mencium nisan
di kaki ibunyA. Kamboja bersujud meminta ampun kepada sang ibu atas
ketidak berdayaanya dan berjanji akan berusaha mempertahankan ibunya walau
mungkin itu mustahil dan tidak akan menjual ibunya kepada pemerintah yang akan
mendirikan hotel di tempat di mana itu adalah tempat peristirahatan terahir
sang ibu. Hingga beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki sayup-sayup di
telinga.
Kamboja bangkit. Dari makam ibunya, ia berteriak kepada
dua orang yang tak lain adalah mereka yang akan membangun tempat itu menjadi
hotel. Bahkan pemimpin desa tempat dia dilahirkan mengatakan bahwa Kamboja
adalah orang gila. Tidak terima dengan hal itu Kamboja mendekati orang tersebut dan
berkata bahwa dia memang sudah gila. Gila karena mempertahankan hak-hak orang mati. Kamboja
juga menjelaskan bahwa makam
itu
adalah rumah mereka yang telah istirahat dengan tenang. Kamboja gila karena
menginginkan ketenangan mereka. Sedangkan penguasa
atau pemerintah itu
gila karena ingin hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain. Lelaki yang sedari
tadi disapa ”bapak” berbalik meninggalkan lokasi pemakaman.
2.2 Analisis Stilistika
Dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan karya Herman R N tersebut hampir sebagian besar menggunakan
bahasa yang mengandung beberapa gaya bahasa.
1.
Gaya Bahasa Personifikasi
Yaitu
gaya bahasa yang membandingkan benda mati seolah-olah mimiliki sifat seperti bebda
hidup atau manusia. Dalam cerpen tersebut kalimat yang menunjukkan gaya bahasa
personifikasi terdapat pada kutipan kalimat “Tangannya yang sebelah lagi
meremas-remas tanah. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air
yang nyaris melabrak kelopak matanya.” Paragraf 1.
Pada kalimat “Air yang nyaris melabrak kelopak matanya”
termasuk gaya bahasa personifikasi karena terdapat benda mati yaitu air yang
dianggap memiliki sifat melabrak seperti yang dimiliki atau dilakukan oleh
manusia.
Paragraf 4. Pada kalimat ”Ibu, kata Nek Mah, ibu sangat
kesakitan ketika melahirkan aku. Perut ibu serasa
dililit akar. Perih. Nek Mah pula yang
mengatakan kalau perih ibu ditolong dengan daun mariam. Ibu, bisa kubayangkan
menderitanya ibu saat itu. Aku yang lahir sungsang, ibu yang kesakitan.
Sedangkan ayah? Ibu….”. Perut ibu seras dililit akar termasuk gaya bahasa
personifikasi karena akar dinaggap bisa melilit seperti manusia.
Paragraf 11. Pada kalimat “Ia bahkan nyaris
melupakan letak kerudungnya yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa
tersimpan rapi di balik kerudung itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut
hitam keriting itu.” pada kalimat yang digaris bawah tersebut termasuk gaya
bahasa personifikasi karena angin dianggap bisa membelai atau memegang rambut
seperti manusia.
Pada paragraf 13, kalimat “Kamboja berhenti sejenak. Ia
tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja.
Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.” Pada
kalimat yang bergaris bawah tersebut termasuk gaya bahasa personifikasi karena
sinar matahari yang memiliki sifat menghnjam (menukik) seperti manusia.
Pada paragraf 9 yang terdapat pada kalimat “Kamboja menjatuhkan
kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu
itu. Ia bisikkan sesuatu di sana”. Pada kalimat yang bergaris
bawah tersebut termasuk gaya bahasa personifikasi karena di sana yang dimaksut
adalah batu nisan jadi batu nisan tersebut dianggap bisa mendengarkan apa yang
dibisikan.
2.
Gaya
Bahasa Eufemisme
Dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan tersebut juga terdapat gaya bahasa eufemisme yaitu gaya
bahasa perbandingan yang menggunakan kata-kata/ ungkapan yang diperhalus agar
tidak menyinggung perasaan orang lain. Terdapat beberapa contoh kalimat yang
mengandung gaya bahasa eufemisme yaitu sebagai beikut.
Pada paragraf 5, kalimat “Tangan kanannya terus
menelusuri lekuk batu nisan di tanah gundukan (menghluskn-arti-makam di
hadapannya. Tangan kirinya semakin kuat mencengkeram tanah di sampingnya.” Pada
kata yang digaris bawah tersebut menunjukkan bahwa kata tersebut termasuk gaya
bahasa eufemisme karena artinya menghaluskan arti makna makam (pengganti kata
makam).
Pada paragraf 10, kalimat langsung yang diucapkan Kamboja
kepada ibunya ”Ibu, jika setelah berbaringpun ketenanganmu mesti
terusik, katakan pada Tuhan, biarkan aku yang menggantikan kau di sini,”
lirihnya. Pada kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan gaya bahasa
eufemisme karena kata “setelah berbaring “ digunakan untuk memperhalus kata
meninggal. Bisa dirasakan bahwa kehidupan tokoh sangat menderita bahkan hingga
dia meninggal sekalipun.
Paragraf 14, Pada kalimat langsung yang diucapkan Kamboja
kepada Allah “Setelah ia berbaring di tanah-Mu, apakah harus diusik
juga?”. Kata yang digaris bawah tersebut termasuk gaya bahasa eufemisme karena
itu merupakan kata yang berarti meninggal atau kembali kepada Allah tetapi
diperhalus.
3.
Gaya Bahasa Hiperbola
Dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan tersebut juga terdapat gaya bahasa hiperbola yaitu gaya
bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesr-besarkan
suatu hal dari sesungguhnya. Terdapat beberapa contoh kalimat yang mengandung
gaya bahasa hiperbola yaitu sebagai beikut.
Pada paragraf 9 kalimat
“Kamboja menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia
benturkan kepalanya ke batu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan hampir tak terdengar di
antara angin siang yang sedikit kencang.”
Pada kalimat tersebut terutama pada kalimat yang digaris bawahi tersebut
termasuk gaya bahasa hiperbola karena bermakna melebih-lebihkan suaranya bahwa
suaranya itu pelan sekali hingga anginpun tak dapat mendengarkan apalagi
manusia.digambarkan juga bahwa suasana di sana sangatlah hening, sepi.
Pada paragraf 11 “Lama Kamboja
diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya masih bergetar, kendati
matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi keringat. Namun, sedikit
pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris melupakan letak kerudungnya
yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa tersimpan rapi di balik kerudung
itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut hitam keriting itu”. Pada kalimat yang digaris bawahi tersebut termasuk gaya
bahasa hiperbola karena mandi keringat yaitu sangat berkeringat akibat sangat
panas (dilebih-lebihkan). Sang tokoh sedang berada di makam sang ibu dan berada
tepat dibawah terik matahari.
4.
Gaya Bahasa Zeugma
Dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan terdapat pula gaya bahasa zeugma yaitu majas penegasan yang
seolah-olah tidak logis dan tidak gramatikal, rancu. Dalam cerpen ini gaya
bahasa tersebut terdapat pada paragraf tujuh “Kamboja
akhirnya tidak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bening yang telah
lama mengambang itu pecah juga dari balik kelopak matanya yang berbulu
lentik. Satu per satu bening itu jatuh menimpa pinggiran nisan ibu Kamboja.” Pada kalimat yang bergaris bawah tersebut termasuk gaya
bahasa penegasan zeugma karena bening (air mata) yang pecah di balik kelopak
mata itu dirasa tidak logis.
5.
Gaya Bahasa Sarkasme
Dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan juga terdapat gaya bahasa sindiran yaitu sarkasme. Sarkasme
adalah gaya bahasa yang bersifat kasar. Gaya bahasa tersebut dalam cerpen
tersebut terdapat pada dua paragraf terakhir, yang pertama pada kalimat
langsung yang diucapkan oleh Kamboja ”Dia, Pak? Dia kayaknya orang gila. Sudah
tiga hari dia menangis terus di makam itu.”
“Kamboja
mendekati orang tersebut. ”Ya, saya sudah gila. Saya gila karena mempertahankan
hak-hak orang mati. Makam ini adalah rumah mereka yang telah istirahat dengan
tenang. Saya gila karena menginginkan ketenangan mereka. Sedangkan kalian,
gila karena ingin hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain.” Kalimat yang bergaris bawah pada kedua
paragraf tersebut termasuk gaya bahasa sindiran sarkasme karena kalimat yang
digunakan untuk menyindir adalah kalimat kasar. Pargraf pertama sindiran yang
ditujukan oleh pemerintah kepada Kamboja dan paragraf dua adalah sindiran yang
ditujukan oleh kamboja kepada pemerintah.
B. Pemanfaatan Kata Daerah
Kata-kata
dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat
daerah yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian
penggunaan kata-kata daerah menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan.
Namun dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan ini, pengarang tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata
daerahnya. Ini bisa dikarenakan cerpen tersebut dipublikasikan melalui koran,
di mana pengarang harus mengikuti ketentuan khusus dari instansi koran
tersebut. Namun meski begitu dalam cerpen Kamboja
di Atas Nisan ini masih terdapat beberapa bahasa daerah yaitu pada paragraf
tiga dalam kalimat “Kebetulan Nek Mah pernah diajarkan sebuah isim oleh
orangtuanya. Isim
itu disebut seulusoh dalam bahasa mereka. Dengan keahlian seulusoh
itulah, Nek Mah membantu ibu Kamboja melahirkan. Kamboja lahir sungsang.
Kakinya lebih dahulu menonjol, baru kemudian kepala.” Pada
kalimat tersebut terdapat dua kata daerah yaitu kata isim dan kata seulusoh.
Kata tersebut merupakan bahasa yang berasal dari Aceh Darussalam yang kurang
lebih sama seperti dukun bayi.
Pada paragraf sebelas kalimat “Namun, sedikit pun ia tak menyeka
keringat itu. Ia bahkan nyaris melupakan letak kerudungnya yang melorot
ke pundak”. Dalam kalimat tersebut terdapat kata melorot, kata
tersebut merupakan kata daerah yang berarti jatuh dengan perlahan.
BAB III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
cerpen yang berjudul Kamboja di Atas
Nisan karya Herman R N setelah dianalisis dengan pendekatan stilistka
terdapat penggunaan beberapa gaya bahasa. Gaya bahasa tersebut digunakan guna
menciptakan nilai estetika dalam cerpen tersebut dan juga menjadikan sebuah
karakter khusus seorang penulis.
Gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen Kamboja di Atas Nisan karya Herman R N
tersebut yaitu gaya bahasa perbandingan yang berupa gaya bahasa personifikasi,
eufemisme, dan hiperbola. Selain itu juga terdapat satu gaya bahasa penegasan
yaitu zeugma dan selain itu juga terdapat gaya bahasa sindirin yaitu sarkasme.
Selain gaya bahasa dalam cerpen tersebut juga terdapat
tiga kata daerah yang digunakan oleh pengarang. Kata tersebut yaitu isim,
seulusoh dan melorot, kata tersebut merupakan kata daerah yang berasal dari
daerah di mana pengarang berasal yaitu Acer Darussalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta:
Puataka Pelajar.
Azzahra, Farras. 2013. Analisis Stilistika Pada Cerpen Datangnya
Dan Perginya Karya : A.A. Navis. http://coretanyas.blogspot.co.id/2013/06/analisis-stilistika-pada-cerpen.html. Diunduh pada 22 November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar